Tantangan Menguatkan Pancasila

Diposting pada

Tantangan Menguatkan Pancasila

tantangan menguatkan Pancasila


Pancasila adalah dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi bangsa Indonesia yang memuat lima sila: Ketuhanan yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nilai-nilai itu bukan sekadar teks, melainkan harus diamalkan dan menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam praktiknya, menguatkan Pancasila menghadapi berbagai tantangan signifikan—baik internal maupun eksternal.

Artikel ini membahas berbagai tantangan itu, akar penyebabnya, serta strategi-strategi yang bisa ditempuh untuk memastikan Pancasila tetap kuat dan relevan di era modern.


1. Pengantar: Mengapa Pancasila Perlu Dikuatkan


Sejak dirumuskan, Pancasila telah menjadi roh dari identitas bangsa Indonesia. Ia menjadi landasan bersama yang merangkul keberagaman suku, agama, budaya, bahasa, dan latar belakang sosial.

Tanpa Pancasila yang dikuatkan dalam praktik, risiko disintegrasi, konflik sosial, supremasi kelompok tertentu, dan pelanggaran hak asasi manusia dapat meningkat. Menguatkan Pancasila berarti tidak hanya mempertahankan teksnya, tetapi juga menjadikan nilai-nilainya hidup dalam sikap, tindakan, hukum, kebijakan, dan budaya.


2. Tantangan Internal dalam Menguatkan Pancasila


2.1 Degradasi moral dan karakter

Salah satu tantangan terbesar adalah turunnya moralitas serta karakter bangsa. Banyak kajian menunjukkan bahwa generasi muda mengalami krisis karakter: ketidakjujuran, kurangnya empati, rendahnya rasa tanggung jawab, serta kecenderungan individualisme. Ini menghambat internalisasi nilai-nilai Pancasila.


2.2 Kurangnya teladan dari pemimpin dan lingkungan

Nilai-nilai Pancasila akan lebih mudah dihayati jika ada figur yang memberi contoh nyata. Namun, survei menunjukkan kurangnya teladan dari pemimpin atau lingkungan sekitar adalah tantangan utama—52,2% responden menyebutnya sebagai hambatan terbesar dalam mengamalkan Pancasila. Tanpa konsistensi dari orang-orang yang menjadi panutan (pemimpin politik, tokoh masyarakat, guru), nilai-nilai Pancasila bisa menjadi slogan semata.


2.3 Pendidikan Pancasila yang kurang efektif

Pendidikan formal tentang Pancasila ada di sekolah, namun seringkali bersifat teoritis dan kurang kontekstual. Metode pembelajaran yang monoton, kurangnya materi yang menunjukkan relevansi dengan kehidupan sehari-hari, dan minimnya pelibatan siswa dalam refleksi praktis membuat pendidikan Pancasila kurang efektif.


2.4 Perbedaan pemahaman dan interpretasi nilai Pancasila

Karena Pancasila mengandung sila-sila yang sangat luas dan mendalam, sering terjadi perbedaan pemahaman di antara warga negara. Misalnya, pengertian “kemanusiaan yang adil dan beradab” atau “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” bisa berbeda tergantung latar belakang agama, budaya, pendidikan, atau pandangan politik seseorang. Perbedaan ini bisa memicu konflik interpretatif.


2.5 Diskriminasi & perlakuan terhadap kelompok minoritas

Nilai persatuan dan kemanusiaan diuji ketika kelompok minoritas mengalami diskriminasi atau penindasan. Artikel “Penguatan Peran BPIP dan Strategi Membumikan Pancasila untuk Melindungi Kelompok Minoritas” menyebut bahwa pemaksaan, kriminalisasi, dan marginalisasi terhadap kelompok keyakinan minoritas menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya berlaku untuk semua lapisan masyarakat.


3. Tantangan Eksternal yang Memengaruhi Penguatan Pancasila


3.1 Globalisasi dan arus budaya luar

Era globalisasi membuka akses bagi budaya asing dan gaya hidup internasional yang sering bertentangan dengan nilai lokal. Konsumerisme, individualisme, budaya populer yang kurang menghargai identitas lokal, dan kecenderungan mengikuti tren global bisa melemahkan rasa kebangsaan dan semangat gotong royong yang merupakan bagian dari Pancasila.


3.2 Kemajuan teknologi, media sosial, disinformasi

Teknologi informasi dan media sosial membawa manfaat besar, tetapi juga membawa tantangan: penyebaran informasi palsu (hoaks), ujaran kebencian, polarisasi opini, serta manipulasi sosial-politik. Semua ini mengganggu persepsi yang logis dan toleran dan merusak nilai-nilai demokrasi serta musyawarah.


3.3 Konflik kepentingan politik dan ideologi ekstrem

Politik identitas, ideologi ekstrem, dan kelompok-kelompok yang ingin menggantikan atau menafsirkan ulang Pancasila dengan cara mereka sendiri menjadi ancaman nyata. Bila kepentingan politik mengakomodasi kelompok ekstrem, maka nilai-nilai Pancasila bisa tergerus.


3.4 Ketimpangan sosial dan ekonomi

Keadilan sosial adalah salah satu sila penting dalam Pancasila. Namun kenyataannya, ketimpangan ekonomi dan sosial—antara pusat dan daerah, kaya dan miskin, kota dan desa—terus menjadi persoalan. Ketidakadilan ini menimbulkan rasa tidak puas dan bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap ideologi Pancasila.


3.5 Tantangan hukum dan penegakan norma

Norma hukum yang lemah, korupsi, penegakan hukum yang tidak merata, serta lembaga pengawas atau pelaksana yang kurang transparan menimbulkan gap antara nilai Pancasila dan kenyataan. Bila banyak warga melihat ketidakadilan dalam hukum, mereka akan susah percaya dan menghidupkan Pancasila.


4. Strategi dan Solusi untuk Menguatkan Pancasila


Menjawab tantangan‐tantangan di atas memerlukan usaha multi‐segi, kolaboratif, dan berkelanjutan. Berikut beberapa strategi yang telah diusulkan atau dapat dijalankan.


4.1 Pendidikan karakter & pembumian nilai Pancasila sejak dini

  • Integrasi nilai-nilai Pancasila ke dalam kurikulum di semua jenjang, bukan hanya sebagai mata pelajaran terpisah, tetapi menjadi bagian dari mapel lainnya dan kegiatan ekstrakurikuler.

  • Proyek penguatan profil pelajar Pancasila di sekolah dasar dengan tema kearifan lokal, memungkinkan siswa tidak hanya tahu tetapi merasakan budaya dan nilai lokal yang bersinergi dengan sila Pancasila.

  • Pendidikan di PAUD dan pendidikan nonformal juga harus difokuskan untuk menanamkan toleransi, persatuan, gotong royong, dan keadilan sosial.


4.2 Pelibatan pemimpin sebagai teladan nyata

  • Pemimpin di segala level: nasional, daerah, institusi pendidikan, tokoh agama, tokoh adat, pun pemimpin dalam komunitas kecil harus konsisten dalam nilai-nilai Pancasila dalam ucapan dan tindakan.

  • Teladan ini mencakup kejujuran, keadilan, penghargaan terhadap hak minoritas, demokrasi dalam mengambil keputusan, dan kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat.


4.3 Penguatan kelembagaan dan regulasi

  • Badan-Badan seperti BPIP harus diperkuat baik dari segi kelembagaan, regulasi, kewenangan, serta sumber daya agar dapat menjadi “lokomotif” dalam membumikan Pancasila.

  • Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2025–2029, ideologi Pancasila diformulasikan secara strategis melalui regulasi, pendanaan, dan substansi.

  • Penegakan hukum terhadap diskriminasi, ujaran kebencian, pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, dan pelanggaran norma-norma dasar yang melanggar sila-sila Pancasila.


4.4 Strategi bottom-up; budaya lokal sebagai basis internalisasi

  • Menggunakan kearifan lokal sebagai sarana menanamkan nilai-nilai Pancasila supaya lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Sekolah umumnya bisa melakukan proyek berdasarkan budaya lokal, seni tradisional, adat, dan bahasa lokal.

  • Kegiatan budaya, kebiasaan gotong royong di kampung/desa, musyawarah adat, toleransi antar agama secara lokal disemangati dan dipromosikan agar menjadi bagian dari budaya hidup sehari-hari.


4.5 Peran masyarakat sipil, media, dan kolaborasi lintas sektor

  • Media massa dan media sosial bisa menjadi wahana positif untuk mempromosikan nilai-nilai Pancasila: dengan konten edukatif, kampanye nilai, cerita inspiratif, contoh nyata.

  • Lembaga masyarakat sipil, organisasi kemasyarakatan, dan keagamaan harus dilibatkan aktif dalam dialog tentang Pancasila, inklusif dalam mendengarkan suara semua pihak, termasuk kelompok minoritas.

  • Kolaborasi antara sekolah, pemerintah, sektor swasta, tokoh masyarakat, dan media agar strategi penguatan nilai Pancasila tidak tersekat di satu institusi saja.


5. Kesimpulan: Menuju Indonesia yang Ber-Pancasila Secara Utuh


Menguatkan Pancasila bukanlah tugas satu pihak, melainkan tugas bersama segenap unsur bangsa: pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat sipil, media, pemimpin, serta individu warga negara. Tantangan internal seperti degradasi karakter, kurangnya teladan, dan kurangnya pendidikan yang efektif harus diatasi satu per satu.

Tantangan eksternal dari globalisasi, teknologi, konflik ideologi, ketimpangan serta lemahnya penegakan hukum juga harus dijawab dengan strategi strategis, regulatif, dan nyata.


Recent Post