Pancasila dan Legislatif: Menyatukan Ideologi dan Fungsi Kewenangan

Diposting pada

Pancasila dan Legislatif

Pancasila dan Legislatif


Pendahuluan

Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia memiliki kedudukan strategis dalam sistem ketatanegaraan. Semua lembaga negara — eksekutif, legislatif, yudikatif — idealnya menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap kebijakan dan tindakan mereka.

Dalam konteks lembaga legislatif, tantangannya tidak ringan: bagaimana agar dewan perwakilan rakyat (baik di tingkat pusat maupun daerah) mampu merumuskan undang-undang yang tidak sekadar sah secara prosedur, tetapi juga dijiwai nilai-nilai Pancasila?

Bagian-bagian dalam artikel ini akan membahas:

  1. Landasan Pancasila dalam sistem hukum dan legislatif

  2. Peran lembaga legislatif dalam kerangka Pancasila

  3. Tantangan dan hambatan penerapan nilai Pancasila dalam legislasi

  4. Strategi dan rekomendasi agar legislatif lebih Pancasila

  5. Kesimpulan dan prospek ke depan


Landasan Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia


Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum

Berdasarkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Urutan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila ditempatkan sebagai sumber hukum dasar nasional. Demikian juga dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ditegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara.

Artinya, setiap produk legislasi—baik undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sejenisnya—harus “berpijak” pada nilai-nilai dasar Pancasila. Jika suatu norma peraturan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, secara ideal norma tersebut tidak boleh diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional.


Nilai-nilai Pancasila dan Konsep Negara Hukum Pancasila

Nilai-nilai dasar Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan / Demokrasi, dan Keadilan Sosial) secara konseptual memberi arahan etis bagi seluruh regulasi negara. Menurut kajian internalisasi, nilai-nilai tersebut perlu diterjemahkan ke dalam bentuk nilai operasional agar bisa diuji pada pasal per pasal dalam undang-undang.

Negara Indonesia dipahami sebagai negara hukum bukan dalam pengertian formal saja (staatstaat), melainkan juga dalam aspek materiil: bahwa hukum harus mencerminkan nilai-nilai keadilan, martabat manusia, musyawarah, dan kesejahteraan sosial.

Dengan demikian, fungsi legislatif bukan hanya menyusun norma, tetapi “menyulap” prinsip normatif Pancasila ke dalam regulasi yang konkret dan aplikatif.


Peran Lembaga Legislatif dalam Kerangka Pancasila


Fungsi Legislatif Menurut UUD dan Realitas

Lembaga legislatif (DPR, DPRD) memiliki tugas pokok menyusun undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menyerap aspirasi rakyat. Dalam kerangka Pancasila, fungsi legislatif yang paling relevan adalah sebagai arena permusyawaratan perwakilan (sila ke-4) dan sebagai sarana penegakan keadilan sosial (sila ke-5).

Idealnya, proses legislasi harus bersifat demokratis, transparan, partisipatif, mendengarkan suara rakyat, dan mempertimbangkan kepentingan umum. Kebijakan yang dihasilkan pun harus memperkuat persatuan, menghormati kemanusiaan, dan menjaga keadilan sosial antar golongan dan daerah.


Legislasi sebagai Instrumen Internal Pancasila

Untuk menjadikan legislatif “Pancasila-minded”, berikut aspek yang harus muncul dalam praktik:

  1. Perencanaan yang berpijak Pancasila
    Dalam tahap penyusunan Prolegnas (Program Legislasi Nasional), harus ditentukan bahwa arah kebijakan dan regulasi akan dijiwai nilai-nilai Pancasila.

  2. Penyusunan pasal yang konsisten dengan Pancasila
    Setiap pasal dalam RUU / undang-undang harus dianalisis kesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila. Misalnya, norma yang diskriminatif terhadap kelompok tertentu akan bertentangan dengan sila kedua (kemanusiaan) dan sila keempat (kerakyatan).

  3. Konsiderans dan landasan filosofis
    Di bagian “menimbang” atau konsiderans suatu RUU, harus tercantum bahwa peraturan tersebut dibentuk “dengan dasar Pancasila” agar jelas afiliasinya dengan nilai bangsa.

  4. Partisipasi masyarakat dan konsultasi publik
    Proses pembahasan RUU harus membuka ruang konsultasi publik, dengar pendapat, survei, dan dialog agar aspirasi masyarakat dapat diakomodasi — ini adalah wujud musyawarah dan demokrasi naratif Pancasila.

  5. Pengawasan dan evaluasi regulasi
    Setelah undang-undang diundangkan, lembaga legislatif harus bersama lembaga pengawas (BPK, ombudsman, lembaga audit) memantau pelaksanaan dan dampaknya agar regulasi betul-betul sesuai nilai-nilai Pancasila.


Pembekalan Ideologi Pancasila bagi Anggota Legislatif

Untuk menjamin bahwa anggota legislatif memahami dan menjaga spirit Pancasila, sudah ada dorongan agar KPU mewajibkan pembekalan ideologi Pancasila dan filsafatnya bagi anggota legislatif terpilih. Dengan pembekalan ini, anggota legislatif diharapkan memiliki orientasi ideologis yang sama agar jauh dari pragmatisme semata.


Tantangan dan Hambatan dalam Penerapan Pancasila di Legislatif


Nilai Abstrak vs Realitas Praktis

Salah satu hambatan terbesar adalah transformasi nilai-nilai abstrak Pancasila ke dalam norma hukum yang konkret. Misalnya, bagaimana merumuskan pasal tentang perpajakan, pemanfaatan lahan, atau penataan industri agar “adil dan beradab”? Untuk regulasi teknis, dibutuhkan analisis nilai-norma yang matang agar tidak kehilangan jiwa Pancasila.


Minimnya Kapasitas Sumber Daya Manusia

Tidak semua anggota legislatif atau stafnya memiliki pemahaman mendalam terhadap Pancasila dan metodologi legislasi berpijak nilai. Beban teknis legislatif (riset, naskah akademik, harmonisasi) sering mendominasi, sehingga sisi ideologis sering tercerabut.


Politik Transaksional dan Kepentingan Elite

Dalam praktek politik, sering muncul tekanan dari kepentingan khusus (lobby, donor, korporasi) yang mendorong undang-undang berpihak pada kelompok tertentu. Hal ini bisa mengikis keadilan sosial dan merugikan kepentingan mayoritas rakyat, sehingga bertentangan dengan semangat Pancasila.


Transparansi Terbatas dan Partisipasi Rendah

Seringkali pembahasan RUU dilakukan secara tertutup atau dengan waktu yang mepet sehingga ruang konsultasi publik minim. Hal ini bertentangan dengan prinsip musyawarah dan kerakyatan. Sebagian RUU kontroversial di Indonesia pernah melalui proses terbatas publik dan kritik luas.


Keterbatasan Pengawasan dan Penegakan

Walaupun lembaga legislatif telah menghasilkan undang-undang, dalam praktik pelaksanaan sering terjadi deviasi atau penyimpangan. Jika pengawasan tidak kuat atau sanksi tidak konsisten, regulasi bisa menjadi terlantar atau diselewengkan dari semangat Pancasila.


Strategi dan Rekomendasi Agar Legislatif Lebih Berjiwa Pancasila


Reformasi Proses Legislasi

  • Integrasi nilai Pancasila sejak awal
    Setiap proposal RUU harus disertai ringkasan nilai-nilai Pancasila yang diinternalisasikan (frame filosofis) agar pembahasan tidak kehilangan dasar moral.

  • Uji norma terhadap indikator Pancasila
    Buat pedoman atau instrumen evaluasi regulasi berdasarkan indikator nilai-nilai Pancasila agar setiap pasal diuji “apakah melanggar nilai Pancasila atau tidak?”

  • Mekanisme konsultasi publik lebih luas
    Gunakan teknologi (situs web, media sosial, aplikasi) agar masyarakat dapat memberi masukan terhadap RUU yang dibahas, sampai level daerah.

  • Transparansi proses pembahasan
    Rapat-rapat penting harus dipublikasikan secara langsung (live streaming) dan dokumentasi tersedia agar publik bisa memantau jalannya legislasi.


Peningkatan Kapasitas Ideologis dan Teknis

  • Pelatihan rutin Pancasila untuk anggota dewan dan staf legislatif
    Fokus pada pemahaman nilai, metodologi konversi nilai ke pasal regulasi, etika legislatif.

  • Kolaborasi dengan institusi akademik dan BPIP
    Libatkan institut filsafat, universitas, dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam menyusun modul dan melatih legislator.

  • Tim penilai nilai legislative
    Bentuk unit internal legislatif yang secara khusus mengkaji kesesuaian pasal dengan nilai Pancasila sebelum disahkan.


Penguatan Mekanisme Pengawasan dan Sanksi

  • Kode etik legislatif yang kuat
    Sanksi atas pelanggaran normatif dan etika harus jelas dan diterapkan tanpa pandang bulu.

  • Peran aktif masyarakat dan media
    Media dan LSM bisa menjadi pengawas kritis terhadap RUU dan pelaksanaan undang-undang; legislatif wajib membuka channel pengaduan publik.

  • Evaluasi dan revisi regulasi
    Legislatif harus secara periodik mengevaluasi undang-undang yang sudah diberlakukan; regulasi yang menyimpang dari nilai Pancasila harus diperbaiki atau dicabut.


Pemilu dan Seleksi Calon Legislator Berbasis Integritas

  • Seleksi ketat calon legislatif
    Persyaratan integritas (rekam jejak, latar belakang moral, kompetensi) harus lebih diperketat agar wakil rakyat betul-betul mempunyai komitmen Pancasila.

  • Pembekalan ideologi Pancasila sebelum pengambilan kursi
    Seperti yang telah direncanakan KPU dan MPR untuk periode 2024–2029, setiap anggota legislatif perlu mendapat pelatihan ideologi Pancasila sebelum mulai tugasnya.

  • Pendidikan politik bagi masyarakat
    Jika pemilih memahami nilai-nilai Pancasila, mereka akan lebih selektif memilih calon legislatif yang benar-benar berkomitmen.


Contoh Kasus dan Pelajaran Praktis


Revisi UU KPK — Pelajaran dari Proses Terbatas

Salah satu contoh real di Indonesia adalah revisi Undang-Undang KPK yang pernah menuai kritik karena prosesnya dianggap terburu-buru dan minim partisipasi publik. Proses tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip musyawarah dan transparansi. Ini menunjukkan bahwa meskipun lembaga legislatif berwenang, jika proses demokrasi tidak dijaga, hasilnya bisa merusak kepercayaan publik.


Penerapan Pancasila dalam Kebijakan Daerah

Di tingkat daerah, DPRD sering membuat perda (peraturan daerah). Salah satu tantangan adalah memastikan perda tersebut punya muatan lokal dan tetap selaras dengan nilai Pancasila — misalnya dalam kebijakan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan pelayanan publik. Jika perda diskriminatif terhadap kelompok sosial tertentu, maka akan bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.


Pembekalan Ideologi: Contoh Implementasi

Inisiatif Ketua MPR untuk menjadikan pembekalan ideologi Pancasila wajib bagi anggota legislatif adalah langkah konkret. Harapannya, dengan pemahaman ideologi yang kuat, legislator tidak hanya menjadi politisi pragmatis, tetapi juga penjaga nilai-nilai dasar bangsa.


Kesimpulan dan Prospek ke Depan


Pancasila dan legislatif bukanlah dua hal yang terpisah; sebaliknya, legislatif harus menjadi ruang hidupnya Pancasila dalam sistem hukum dan politik Indonesia. Namun, transformasi nilai-nilai luhur menjadi regulasi konkrit bukan tanpa tantangan: mulai dari abstraksi nilai, kapasitas manusia, tekanan kepentingan, hingga kelemahan pengawasan.

Agar legislatif benar-benar berjiwa Pancasila, diperlukan reformasi menyeluruh — dari proses legislasi, peningkatan kapasitas ideologis, pembekalan anggota legislatif, hingga mekanisme pengawasan publik.

Semua elemen bangsa—pemerintah, legislatif, masyarakat sipil, media, akademisi—harus bersinergi memperkuat internalisasi Pancasila dalam regulasi dan praktik.

Ke depan, apabila legislator mampu menjaga konsistensi antara nilai dan tindakan, Indonesia bisa semakin kokoh sebagai negara demokratis yang berdasarkan keadilan sosial.

Pancasila bukan hanya simbol, melainkan ruh yang menggerakkan seluruh tindakan legislatif untuk mewujudkan cita-cita bangsa: keadilan, kemakmuran, persatuan, dan martabat manusia.


Recent Post