Pancasila dan Partai Politik: Pilar Ideologi dan Dinamika Demokrasi Indonesia

Diposting pada

Pancasila dan Partai Politik

Pancasila dan partai politik


Pendahuluan

Dalam kehidupan politik Indonesia, hubungan antara Pancasila dan partai politik menyimpan kompleksitas yang penting untuk dipahami. Sebagai ideologi dasar negara dan falsafah bersama, Pancasila tidak hanya menjadi simbol patriotik, melainkan juga kerangka nilai yang seharusnya mendasari segala aktivitas politik—termasuk partai politik.

Namun dalam praktiknya, apakah partai politik secara konsisten menjadikan Pancasila sebagai pijakan? Bagaimana dinamika interpretasi dan penerapan nilai Pancasila dalam partai politik? Artikel ini mencoba menguraikan hubungan historis, tantangan kontemporer, dan harapan ideal terkait Pancasila dan partai politik di Indonesia.

Beberapa kata kunci utama yang akan dibahas dalam artikel ini meliputi: Pancasila, partai politik, ideologi partai, demokrasi Pancasila, implementasi nilai Pancasila, konflik ideologi, dan penguatan demokrasi.


Sejarah Hubungan Pancasila dan Partai Politik


Memahami asal-usul hubungan antara Pancasila dan partai politik memerlukan kita tengok sejarah mulai dari masa pra-kemerdekaan, hingga era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.


Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Relevansinya


Lahirnya Pancasila dan makna lima sila

Pancasila dirumuskan dalam sidang BPUPKI dan diketok dalam Piagam Jakarta, serta sebagai dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945.

Lima sila Pancasila — Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia — menjadi pijakan nilai untuk kehidupan bersama.

Pancasila tidak dirancang sebagai ideologi partai tertentu, melainkan sebagai ideologi negara yang menyatukan keragaman politik, agama, budaya, dan suku bangsa.


Pancasila dalam pemikiran partai politik masa awal kemerdekaan

Sejak masa awal kemerdekaan, partai politik yang lahir di Indonesia sering mengusung ideologi tertentu, baik nasionalis, Islamis, sosialisme, komunisme, dan lainnya.

Namun posisi Pancasila sebagai dasar negara memaksa partai-partai tersebut untuk menyesuaikan ideologi mereka agar tidak bertentangan dengan Pancasila.

Partai-partai politik harus berada dalam bingkai konstitusi, termasuk menghormati ideologi negara. Dalam praktiknya, beberapa partai ideologis mencoba mensinergikan gagasan mereka dengan nilai-nilai Pancasila.


Pancasila dalam Era Orde Baru – “Asas Tunggal”


Kebijakan asas tunggal Pancasila

Salah satu momen paling penting dalam sejarah hubungan Pancasila dan partai politik adalah kebijakan asas tunggal Pancasila yang diberlakukan pada masa Orde Baru. Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, pemerintah menetapkan bahwa semua partai politik wajib berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Kebijakan ini memunculkan kontroversi: di satu sisi, kebijakan itu dianggap sebagai cara menjaga stabilitas ideologis dan mencegah konflik ideologis tajam; di sisi lain, banyak pihak menilai ia digunakan sebagai alat untuk menekan partai yang memiliki identitas ideologis kuat, terutama partai Islam dan partai kiri.


Implikasi penyederhanaan partai politik

Selama Orde Baru, selain penetapan asas tunggal Pancasila, terjadi penyederhanaan sistem kepartaian yang menyebabkan penggabungan partai-partai menjadi lebih sederhana (misalnya menjadi Golkar, PPP, dan PDI).

Golkar sendiri, meskipun digambarkan sebagai organisasi fungsional, berfungsi dalam banyak hal layaknya partai politik dominan yang memanfaatkan posisi struktural pemerintahan.

Akibatnya, pluralitas ideologi yang semula bisa lebih beragam dipaksa untuk berada dalam kerangka ideologi tunggal, sehingga perbedaan ideologi secara eksplisit diminimalkan.


Era Reformasi dan Kebebasan Ideologi Partai


Kebangkitan sistem multipartai

Setelah jatuhnya Orde Baru (1998), Indonesia memasuki era Reformasi di mana kebebasan politik dan keragaman partai kembali mendapatkan ruang. Sistem multipartai muncul kembali, dan banyak partai baru dengan platform ideologi yang berbeda ikut ambil bagian dalam pemilu awal reformasi.


Tantangan penerapan Pancasila dalam partai modern

Dalam era Reformasi, meskipun partai memiliki kebebasan ideologi, tetap ada tuntutan agar partai politik menghormati dan menjadikan Pancasila sebagai landasan bersama (setidaknya secara normatif).

Beberapa partai memang secara formal memasukkan Pancasila dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) sebagai nilai dasar. Namun dalam praktik, interpretasi terhadap nilai-nilai Pancasila seringkali berbeda antar partai, dan terkadang nilai-nilai Pancasila hanya menjadi slogan semata, bukan pedoman kerja nyata.

Berbagai studi mengamati bahwa keberadaan partai politik yang menjadikan Pancasila sebagai acuan operasional masih menghadapi kendala internal dan eksternal. Misalnya, dalam kasus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Pancasila dianggap sebagai dasar ideologi partai yang kemudian mempengaruhi pendekatan komunikasi, kebijakan, dan program kesejahteraan sosial.


Fungsi Partai Politik dalam Kerangka Pancasila


Setelah melihat sejarah, mari kita telaah fungsi-fungsi partai politik dan bagaimana Pancasila seharusnya memandu masing-masing fungsi tersebut.


Fungsi rekrutmen dan kaderisasi berdasarkan nilai Pancasila

Salah satu peran penting partai politik adalah merekrut kader dan membentuk pemimpin. Dalam konteks Pancasila, rekrutmen kader idealnya tidak hanya memperhitungkan faktor elektoral (kemampuan memenangkan suara), tetapi juga komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila seperti keadilan sosial, kemanusiaan, persatuan, dan musyawarah.

Partai yang ideal akan menerapkan pendidikan politik dan pelatihan internal yang menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pola pikir dan etika kader. Studi mengenai PKS menunjukkan bahwa komunikasi internal partai berpedoman pada nilai-nilai Pancasila demi menjaga kesamaan pemahaman.


Fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan

Partai politik berfungsi sebagai sarana untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat dan mengagregasinya menjadi program kebijakan. Dalam kerangka Pancasila, aspirasi yang diartikulasikan harus memperhatikan kepentingan umat dan keadilan sosial, serta tidak memicu fragmentasi identitas yang tajam.

Dalam penelitian “Urgensi dan Peran Partai Politik dalam Pembangunan Masyarakat Madani”, dikemukakan bahwa secara filosofis, partai politik merupakan representasi dari implementasi nilai-nilai Pancasila, terutama sila keempat (kerakyatan melalui musyawarah/perwakilan) yang dilembagakan melalui partai politik.


Fungsi kontrol terhadap kekuasaan dan demokrasi

Dalam sistem demokrasi Pancasila, partai politik tidak hanya bersaing untuk kekuasaan, tetapi juga memiliki peran sebagai kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Partai oposisi idealnya menggunakan nilai-nilai Pancasila untuk mengkritik kebijakan yang dianggap melanggar keadilan sosial, persatuan, atau hak asasi manusia.

Misalnya, ada penelitian yang membahas bagaimana partai politik dapat mendorong pembuatan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan Pancasila sebagai cita hukum bangsa. Partai politik yang berperan dalam proses legislasi memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga bahwa produk regulasi tidak bertentangan dengan nilai Pancasila.


Fungsi sosialisasi nilai-nilai Pancasila

Partai politik juga menjadi sarana sosialisasi politik dan pendidikan publik. Dalam konteks Pancasila, partai idealnya menyebarkan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat — tidak hanya melalui retorika kampanye, tetapi juga melalui program pendidikan politik, pengkaderan, dan pengabdian masyarakat.

Dalam jurnal “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perkembangan …”, disebut bahwa partai politik juga memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan kadernya agar nilai-nilai Pancasila tidak hilang dalam praktik politik nyata.


Tantangan dan Problematika Hubungan Pancasila dan Partai Politik


Meskipun secara normatif hubungan Pancasila dan partai politik tampak ideal, kenyataannya terdapat berbagai tantangan, konflik interpretasi, dan penyimpangan. Berikut beberapa isu utama.


Politik identitas dan interpretasi sempit terhadap Pancasila

Dalam praktik demokrasi elektoral, fenomena politik identitas (berbasis suku, agama, ras, golongan) sering muncul dan berisiko menggeser makna Pancasila dari kerangka inklusif menjadi identitas kelompok sempit. Beberapa peneliti memandang bahwa upaya menolak politik identitas harus dilakukan melalui doktrinisasi falsafah republikanisme (yang inklusif) oleh partai-politik nasionalis.

Dalam konteks tersebut, tafsir terhadap nilai Pancasila bisa dibenturkan antara pendekatan “kebangsaan moderat” dan “Islamisme/identitas kuat”. Beberapa studi menyoroti bahwa interpretasi Pancasila oleh kekuatan politik sering terjebak pada kutub-kutub ideologis.


Politik minus ideologi / pragmatisme politik

Sebuah kritik sering disampaikan bahwa banyak partai politik Indonesia menderita “politik minus ideologi” — yakni orientasi pragmatis (menang pemilu, meraih kekuasaan) melebihi konsistensi ideologis. Artikel “Politik Minus Ideologi” menyoroti bahwa partai seharusnya menggunakan ideologi sebagai cara, sementara Pancasila adalah falsafah hidup bersama yang lebih fundamental.

Akibatnya, nilai-nilai Pancasila sering dimaknai secara dangkal — hanya sebagai slogan kampanye — tanpa terjemahan konkrit ke kebijakan atau perilaku partai.


Konflik internal partai dan inkonsistensi penerapan

Banyak partai mengalami konflik internal antara kader yang ingin berpegang pada idealisme dan mereka yang pragmatis. Dalam situasi demikian, penerapan nilai Pancasila bisa tertunda atau terabaikan. Selain itu, interpretasi yang berbeda antar kader terkait sila-sila Pancasila sering menimbulkan gesekan.

Studi tentang “Pandangan Partai Politik terhadap Pancasila sebagai etika politik di Kota Malang” menunjukkan bahwa setiap partai—PDIP, Gerindra, Demokrat—memiliki penekanan nilai Pancasila yang berbeda dalam etika politik mereka.


Produksi peraturan yang tidak konsisten dengan Pancasila

Dalam praktik legislasi, ada kecenderungan aturan-aturan perundang-undangan yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan nilai-nilai Pancasila (misalnya dalam aspek keadilan sosial, kesetaraan, atau kemanusiaan). Penelitian “Telaah Peran Partai Politik untuk Mewujudkan Peraturan Perundang-Undangan yang Berdasarkan Pancasila” menunjukkan bahwa dorongan politik dalam pembentukan undang-undang belum selalu bersandar pada nilai Pancasila.


Contoh Partai Politik dan Interpretasi Pancasila Kontemporer


Untuk lebih konkret, mari kita tinjau beberapa partai politik mutakhir di Indonesia dan bagaimana mereka memasukkan Pancasila dalam identitas dan praktik mereka.


Partai Amanat Nasional (PAN)

PAN secara terbuka menyatakan Pancasila sebagai basis ideologinya. Namun seiring perkembangan internal, orientasi religius dan kerja sama dengan komunitas berbasis agama memengaruhi cara PAN memosisikan diri — semakin dekat ke ranah “islam demokratis nasionalis”.


Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

PPP sebagai partai berbasis umat Islam juga menyatakan bahwa visi dan misinya berlandaskan Pancasila.  Meskipun akar historisnya adalah partai politik Islam, sejak era reformasi PPP menyesuaikan diri agar tetap berada dalam kerangka Pancasila.


Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

PKS dikenal sebagai partai Islam, tetapi secara formal ia mengadopsi Pancasila sebagai dasar ideologinya.  Dalam praktiknya, PKS sering menggunakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai jembatan antara prinsip Islam dan nilai Pancasila.


Partai-partai lain dan keberagaman interpretasi

Banyak partai lain di Indonesia (termasuk partai baru atau lokal) memiliki cara sendiri dalam menafsirkan Pancasila dalam AD/ART mereka. Beberapa lebih menekankan aspek persatuan, beberapa menekankan aspek keadilan sosial, dan sebagian mungkin menempatkan aspek ketuhanan atau moral sebagai prioritas.


Strategi Penguatan Hubungan Pancasila dan Partai Politik


Agar Pancasila benar-benar menjadi hidup dalam praktik partai politik, bukan sekadar simbol, berbagai strategi ideal dapat diusulkan.


Reformasi internal partai — ideologi dan etika

Partai politik perlu melakukan reformasi internal untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman nyata dalam organisasi. Ini meliputi:

  • Pendidikan politik internal yang menanamkan nilai-nilai Pancasila

  • Audit ideologis reguler untuk mengevaluasi apakah kebijakan dan tindakan partai selaras dengan Pancasila

  • Mekanisme sanksi internal jika terdapat perilaku partai yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan, keadilan sosial, atau persatuan


Transparansi dan akuntabilitas publik

Partai yang ingin menjunjung Pancasila harus menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan, proses pengambilan keputusan, dan pelaporan publik. Keterbukaan ini sesuai dengan nilai kerakyatan dan keadilan sosial Pancasila.


Kolaborasi dengan lembaga negara dan masyarakat sipil

Partai politik sebaiknya berkolaborasi dengan lembaga negara (misalnya lembaga legislatif, yudikatif) dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat praktik nilai Pancasila di masyarakat luas. Misalnya, kampanye bersama tentang nilai toleransi, pendidikan Pancasila di sekolah, atau program sosial berbasis keadilan bagi kelompok kurang beruntung.


Pemanfaatan teknologi dan media untuk sosialisasi nilai

Memasuki era digital, partai dapat menggunakan media sosial, aplikasi pendidikan politik, dan kanal digital lainnya untuk menyebarkan pemahaman Pancasila yang kontekstual, relevan dengan isu kontemporer (lingkungan, kesetaraan gender, pluralisme, keadilan ekonomi). Dengan demikian, Pancasila tidak terjebak sebagai warisan lama melainkan tetap hidup dan relevan.


Menolak ekstremisme dan memperkuat moderasi

Partai politik harus aktif menolak ekstremisme (agama, identitas, ideologi) dan mempromosikan moderasi sebagai bagian dari interpretasi Pancasila. Dalam konteks ini, posisi partai sebagai penjaga keseimbangan ideologi sangat penting agar Pancasila tidak diklaim secara militan oleh kelompok tertentu.


Harapan Ideal dan Tantangan ke Depan


Indonesia sebagai demokrasi Pancasila yang hidup

Harapan idealnya adalah bahwa Indonesia menjadi negara demokrasi Pancasila yang sungguh hidup, bukan hanya tertulis. Kenyataan ideal ini berarti bahwa partai politik berada dalam harmoni nilai—pada saat yang sama saling bersaing secara sehat, tetapi tidak menjadikan persaingan identitas atau materi sebagai satu-satunya fokus.


Tantangan global dan domestik

Tantangan yang harus dihadapi meliputi:

  • Globalisasi dan pengaruh ideologi asing yang dapat mereduksi relevansi Pancasila

  • Tekanan ekonomi, kesenjangan sosial, dan korupsi yang mengikis kepercayaan publik terhadap partai

  • Fragmentasi identitas dalam masyarakat (agama, etnis, sosial) yang memicu tekanan polarisasi

  • Partai politik yang masih lemah secara institusional atau yang lebih mementingkan elektabilitas daripada konsistensi nilai


Perlu ada rekonstruksi ideologis

Beberapa literatur menyebut bahwa diperlukan rekonstruksi ideologis partai politik agar nilai-nilai Pancasila semakin kuat dalam praktik politik kontemporer. Jurnal UII Penguatan ideologi partai bukanlah sesuatu yang statis, melainkan harus terus disesuaikan dengan dinamika sosial dan tantangan baru.


Kesimpulan


Hubungan antara Pancasila dan partai politik adalah elemen vital dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Sejarah panjang menunjukkan bahwa interpretasi dan penerapan Pancasila dalam partai politik sering kali mengalami pasang surut — dari kebijakan asas tunggal pada Orde Baru, hingga kebebasan ideologi pada era Reformasi.

Fungsi partai politik (rekrutmen, artikulasi, kontrol, sosialisasi) idealnya dibingkai dalam nilai-nilai Pancasila agar demokrasi tidak melebar ke arah pragmatisme tanpa nilai.

Namun realitas menunjukkan berbagai tantangan: politik identitas, pragmatisme, konflik internal, dan ketidaksesuaian regulasi dengan nilai Pancasila. Untuk itu, strategi penguatan berupa reformasi internal, transparansi, kolaborasi publik, edukasi digital, serta penolakan ekstremisme sangat dibutuhkan.

Harapan idealnya adalah Indonesia mampu menjadi demokrasi Pancasila yang hidup dan kuat — di mana partai-politik bukan hanya alat kekuasaan, tetapi agen nilai dan penjamin keadilan sosial.


Recent Post