Pancasila dan Hak Asasi Manusia: Landasan, Harmonisasi, dan Tantangan

Diposting pada

Pancasila dan Hak Asasi Manusia

Pancasila dan hak asasi manusia


Pendahuluan

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia sering kali disebut sebagai “jiwa”, “jiwa bangsa”, atau “pandangan hidup” bagi seluruh warga negara. Di sisi lain, hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada setiap individu yang tak dapat dicabut, diabaikan, atau dikurangi oleh negara ataupun pihak manapun.

Bagaimana hubungan antara Pancasila dan HAM? Apakah Pancasila menjamin HAM atau bahkan menjadi sumbernya? Apakah penerapan HAM di Indonesia telah konsisten dengan nilai-nilai Pancasila? Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai konsep, sejarah, penerapan, tantangan, dan prospek perwujudan HAM dalam kerangka Pancasila.

Secara garis besar, artikel ini akan dibagi dalam beberapa bagian:

  1. Pengertian Pancasila dan HAM

  2. Sejarah hubungan Pancasila-HAM di Indonesia

  3. Pancasila sebagai sumber nilai HAM

  4. Implementasi nilai HAM dalam sila Pancasila

  5. Tantangan dan hambatan dalam menjunjung HAM dalam kerangka Pancasila

  6. Prospek dan rekomendasi ke depan

  7. Kesimpulan

Dengan pembagian seperti ini, diharapkan pembaca mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang “Pancasila dan HAM” tanpa kehilangan nuansa teoritis maupun praktis.


1. Pengertian Pancasila dan Hak Asasi Manusia


1.1 Apa itu Pancasila?

Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta: panca berarti “lima” dan shila berarti “asas” atau “prinsip”. Jadi, Pancasila bisa diartikan sebagai dasar atau lima prinsip yang menjadi pijakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Kelima sila Pancasila adalah:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa

  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

  3. Persatuan Indonesia

  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan

  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Pancasila tidak hanya sebagai suatu daftar prinsip, tetapi juga sebagai sumber nilai, moral, dan arah tindakan dalam kehidupan pemerintahan, hukum, sosial, budaya, serta kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.

Sebagai dasar negara, Pancasila tercantum secara eksplisit (meskipun tidak disebut kata “Pancasila” dalam teksnya) di Pembukaan UUD 1945, dan menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara, tata hukum, dan arah pembangunan ke depan.


1.2 Apa itu Hak Asasi Manusia (HAM)?

Hak Asasi Manusia (HAM) atau dalam bahasa Inggris human rights, adalah hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir, yang bersifat universal, tak terpisahkan, dan tak dapat diganggu-gugat.

Beberapa karakteristik HAM antara lain:

  • Universal: berlaku bagi semua manusia tanpa diskriminasi

  • Tidak terpisahkan: setiap hak saling berkaitan

  • Tidak dapat dicabut (inemptible): tidak boleh dihapuskan secara sewenang-wenang

  • Terkait kewajiban: setiap hak dibarengi dengan kewajiban terhadap orang lain dan negara

Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Dalam praktik, HAM mencakup berbagai jenis hak, seperti:

  • Hak sipil dan politik (misalnya kebebasan berekspresi, hak memilih, hak atas keadilan hukum)

  • Hak ekonomi, sosial, dan budaya (misalnya hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan)

  • Hak kolektif atau lingkungan (hak atas lingkungan hidup bersih, hak masehi terhadap kemajemukan)


2. Sejarah Hubungan Pancasila dan HAM di Indonesia


Memahami hubungan antara Pancasila dan HAM juga berarti menelusuri bagaimana keduanya berkembang secara historis di Indonesia.


2.1 Masa Awal Kemerdekaan dan Perumusan UUD 1945

Pada masa perumusan dasar negara oleh para pendiri bangsa, terdapat perdebatan yang cukup tajam mengenai apakah HAM harus dijadikan bagian eksplisit dari konstitusi atau tidak. Beberapa tokoh seperti Soekarno dan Soepomo khawatir bahwa pengaturan HAM secara eksplisit bisa mengarah pada individualisme atau liberalisme yang kontras dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong.

Sementara itu, tokoh lain seperti Mohammad Hatta dan M. Yamin mendukung agar HAM dimasukkan agar rakyat memiliki perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara.

Akhirnya, dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya dimuat beberapa ketentuan yang menjadi dasar pengakuan terhadap HAM, seperti kebebasan beragama, kesetaraan di hadapan hukum, kebebasan berpendapat, dan hak pendidikan.

Dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea pertama), dinyatakan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan penindasan terhadap manusia tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, yang dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap nilai HAM.


2.2 Perkembangan Hukum HAM di Indonesia

Setelah kemerdekaan, urusan perlindungan HAM terus bergulir melalui pembentukan lembaga, regulasi, dan kebijakan yang spesifik:

  • Pada era Orde Lama dan Orde Baru, praktik pelanggaran HAM (misalnya pelanggaran kebebasan politik, penyiksaan, pelanggaran hak sipil) terjadi di beberapa periode, menguji konsistensi komitmen negara terhadap HAM.

  • Setelah era reformasi (pasca 1998), muncul tekanan kuat agar HAM menjadi bagian penting dalam tatanan hukum nasional. Misalnya, pada 1993 didirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga independen yang menangani pengaduan pelanggaran HAM.

  • Pada tahun 1999 disahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai kerangka hukum nasional yang lebih komprehensif terhadap perlindungan hak-hak dasar.

  • Seiring waktu, konsep HAM juga diperluas ke isu-isu baru seperti HAM digital, hak atas lingkungan, hak minoritas, dan hak atas identitas budaya.

Dalam konteks ini, Pancasila tetap menjadi pijakan ideologis agar pelaksanaan HAM tidak lepas dari karakter bangsa, nilai-nilai lokal, dan keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.


2.3 Krisis, Pelanggaran, dan Respons Reformasi

Dalam sejarah Indonesia, terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM yang sangat besar, seperti peristiwa 1965–66, peristiwa Trisakti–Semanggi, konflik Timor Timur, kerusuhan Mei 1998, dan konflik di beberapa daerah perbatasan atau konflik separatis. Kasus-kasus tersebut menciptakan trauma kolektif dan menuntut pertanggungjawaban negara.

Reformasi memunculkan dorongan agar pelanggaran-pelanggaran masa lalu diusut (melalui pengadilan HAM), agar institusi penegak hukum menjadi lebih kuat dan independen, dan agar HAM menjadi bagian integral dari kebijakan publik.

Namun dalam praktiknya, penyelesaian kasus-kasus besar seringkali mengalami hambatan, baik dari segi politik, kelembagaan, maupun dukungan masyarakat.


3. Pancasila sebagai Sumber Nilai HAM


Bagian ini akan membahas secara lebih filosofis dan normatif bagaimana Pancasila bisa dianggap sebagai sumber nilai atau landasan bagi HAM di Indonesia.


3.1 Nilai Ideal, Instrumental, dan Praktikal

Dalam kajian teori, Pancasila sebagai ideologi negara dipandang mewadahi tiga jenis nilai terkait HAM: nilai ideal, nilai instrumental, dan nilai praktikal.

  • Nilai ideal: nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sila-sila Pancasila (misalnya keadilan, kemanusiaan, persatuan). Nilai ideal bersifat abstrak dan menjadi cita-cita luhur bagi bangsa.

  • Nilai instrumental: nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam aturan konstitusional, undang-undang, kebijakan negara, dan perangkat hukum lainnya. Contohnya: UU HAM, UUD 1945, peraturan perundang-undangan.

  • Nilai praktikal (praksis): bagaimana penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat: kebiasaan, sikap sosial, budaya, perilaku warga negara, serta pelaksanaan fungsi negara.

Dengan demikian, Pancasila tidak hanya berhenti sebagai simbol, tapi harus diterjemahkan ke dalam kerangka hukum (instrumental) dan tindakan nyata (praktikal) agar HAM benar-benar terlindungi.


3.2 Nilai-nilai Pancasila dan Nilai HAM

Setiap sila Pancasila mengandung nilai-nilai yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip HAM. Berikut ini hubungan masing-masing:


3.2.1 Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila ini menjamin kebebasan beragama dan kebebasan beribadah bagi setiap warga negara. Dalam konteks HAM, hal ini mencerminkan hak atas kebebasan beragama dan keyakinan. Negara berkewajiban menghormati dan melindungi hak tersebut tanpa diskriminasi.

Namun kebebasan itu juga dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak orang lain serta menjaga kerukunan antar pemeluk agama. Jadi, sila pertama tidak mengizinkan kebebasan yang merugikan orang lain.


3.2.2 Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila ini sangat dekat dengan HAM, karena menegaskan bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara adil, bermartabat, dan beradab. Tidak ada diskriminasi, perlakuan kejam, atau degradasi martabat manusia.

Dalam penerapannya, negara wajib melindungi hak sipil, hak atas keadilan hukum, hak kesetaraan, dan melarang penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang.


3.2.3 Sila Ketiga: Persatuan Indonesia

Persatuan mengandung makna penghargaan terhadap keberagaman (ras, suku, agama, budaya). Dalam konteks HAM, ini berarti menjamin kebebasan minoritas, menghindarkan diskriminasi atas dasar suku atau kelompok, serta menjaga kerukunan sosial.

Orang memiliki hak untuk bergaul, berserikat, dan berkomunitas selama tidak merusak persatuan dan kesatuan bangsa.


3.2.4 Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan

Sila keempat mengandung unsur demokrasi: hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, kebebasan berbicara, kebebasan memilih, dan bermusyawarah dalam forum perwakilan. Semua ini adalah bagian dari HAM sipil-politik.

Namun juga dibarengi kewajiban agar pelaksanaan demokrasi dilakukan secara bijak dan musyawarah, tidak menindas suara kecil.


3.2.5 Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila ini mengandung prinsip keadilan distribusi sumber daya, kesempatan, dan hasil pembangunan. Dalam konteks HAM, ini menyentuh hak ekonomi, sosial, dan budaya — misalnya hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan perlindungan sosial.

Negara berkewajiban mengatur agar tidak muncul kesenjangan yang ekstrem yang mengorbankan kelompok lemah.

Dengan demikian, Pancasila memupuk pandangan bahwa HAM bukan sekadar hak individu yang dipaksakan, tetapi hak yang lahir dalam kerangka kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan ketertiban nasional.


4. Implementasi Nilai HAM dalam Pancasila


Setelah memahami bahwa Pancasila bisa menjadi landasan nilai HAM, selanjutnya penting melihat bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan ke dalam praktik nyata.


4.1 Nilai Instrumental: Basis Hukum dan Regulasi

Nilai-nilai Pancasila yang mendasari HAM harus diwujudkan melalui instrumen hukum agar memiliki kekuatan pelaksanaan. Beberapa instrumen penting:

  • UUD 1945: menyebutkan hak-hak dasar dalam pasal-pasal (misalnya Pasal 27, Pasal 28A–28J).

  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai regulasi spesifik yang mengatur jenis-jenis hak, mekanisme perlindungan, dan tanggung jawab negara.

  • Peraturan pelaksanaannya: undang-undang sektoral (misalnya undang-undang kebebasan pers, undang-undang kesehatan, undang-undang pendidikan), peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah, serta kebijakan publik yang menyertakan komponen HAM.

  • Lembaga-lembaga pelaksana: Komnas HAM, lembaga peradilan (pengadilan HAM), lembaga pemantauan HAM, lembaga penegak hukum (polisi, kejaksaan), serta DPR/DPD sebagai representasi rakyat.

  • Instrumen internasional: Indonesia juga meratifikasi beberapa konvensi HAM internasional, sehingga menambah lapisan tanggung jawab negara dalam perjanjian global.

Dengan adanya regulasi dan lembaga ini, negara berkomitmen untuk menjamin bahwa nilai-nilai Pancasila dalam penerapan HAM tidak hanya sebatas wacana.


4.2 Nilai Praktikal: Pelaksanaan dalam Kehidupan Sehari-hari

Nilai praktikal menuntut penerapan nilai-nilai HAM secara nyata dalam perilaku warga negara, kebijakan pemerintah, serta budaya organisasi dalam institusi negara. Beberapa contoh implementasi:

  • Kebebasan beragama dijaga di masyarakat dengan toleransi, dialog antarumat beragama, dan perlindungan terhadap minoritas

  • Akses terhadap layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan

  • Kebebasan berekspresi: media yang bebas dan menghormati batas hukum, ruang aspirasi publik

  • Penegakan hukum yang adil dan transparan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan terhadap warga negara

  • Program perlindungan sosial bagi kelompok rentan

  • Pendidikan kewarganegaraan agar masyarakat memahami hak dan kewajiban, dan bertanggung jawab dalam penegakan HAM

Sebagai contoh konkret, dalam pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn), siswa diajarkan penghormatan terhadap hak orang lain, toleransi, dan tanggung jawab sosial, sehingga membentuk kultur yang menghargai HAM.


4.3 Sila Mana yang Menjadi Basis Utama Pelaksanaan HAM?

Beberapa pengamat menyebut bahwa pelaksanaan HAM sangat ditopang oleh sila kedua (“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”), karena sila itu secara langsung menekankan penghormatan terhadap kemanusiaan, keadilan, dan beradab.

Namun, dalam praktiknya, semua sila saling melengkapi dan “menghidupi” satu sama lain. HAM tidak bisa dilihat hanya dari satu sila saja—misalnya kebebasan beragama (sila pertama), kebebasan berpendapat (sila keempat), dan hak atas ekonomi sosial (sila kelima)—semuanya harus berimbang.


5. Tantangan dan Hambatan dalam Menegakkan HAM dalam Bingkai Pancasila


Meskipun kerangka filosofis dan regulatif sudah cukup kuat, dalam praktik masih terdapat berbagai tantangan dan hambatan yang mengganggu realisasi HAM dalam kerangka Pancasila.


5.1 Konflik Antara Nilai Universal HAM dan Nilai Lokal / Pancasila

Salah satu tantangan klasik adalah bagaimana menyeimbangkan nilai-nilai HAM universal (yang sering kali bersumber dari pemikiran Barat) dengan nilai-nilai lokal tradisional, budaya, agama, dan Pancasila itu sendiri. Ada kekhawatiran bahwa hak individu bisa berlebihan dan mengganggu kepentingan umum atau nilai-nilai kearifan lokal.

Sebagai contoh, dalam persoalan kebebasan berekspresi atau hak LGBTQ+, muncul konflik antara ekspektasi HAM universal dan norma sosial/agama lokal. Negara harus bijak agar tidak kehilangan akar budaya, namun tetap menegakkan hak asasi manusia.


5.2 Kelemahan Institusional dan Penegakan Hukum

Banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak tuntas karena lemahnya penegakan hukum: kurangnya kemauan politik, tekanan kekuasaan, korupsi, atau intervensi aktor-aktor kuat. Lembaga-lembaga seperti Komnas HAM kadang memiliki keterbatasan kewenangan atau dukungan sumber daya.

Kasus pelanggaran HAM berat sering kali tidak diadili, atau proses peradilan lambat, atau vonis ringan, sehingga tidak menciptakan efek jera.


5.3 Ketimpangan Ekonomi, Sosial, dan Akses

Kesenjangan ekonomi, akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang masih jauh antara daerah maju dan tertinggal dapat menjadi bentuk pelanggaran hak-hak sosial-ekonomi warga negara. Jika distribusi pembangunan tidak adil, maka kelompok lemah bisa terkucil dan kehilangan hak dasar mereka.


5.4 Intervensi Politik, Kebijakan Populis, dan Kepentingan Sektoral

Terkadang, demi kekuasaan atau stabilitas politik, negara atau pemerintah daerah membuat kebijakan yang mengorbankan hak individu atau kelompok. Misalnya kebijakan yang membatasi kebebasan berekspresi, pembatasan terhadap komunitas tertentu, atau pembangunan yang merugikan warga tanpa kompensasi yang adil.


5.5 Kesadaran Publik dan Kultur HAM yang Lemah

Banyak warga negara belum memahami hak dan kewajiban mereka secara baik sehingga tidak membela haknya sendiri atau toleran terhadap pelanggaran orang lain. Budaya “takut bersuara”, apatis, atau rendahnya pendidikan HAM menjadi hambatan dalam merealisasikan hak-hak dalam kehidupan sehari-hari.


5.6 Masalah Anggaran dan Politik dalam Perlindungan HAM

Dalam perspektif anggaran negara, program-program perlindungan HAM kadang menjadi prioritas rendah dibanding sektor lain. Sumber daya manusia, pelatihan aparatur, sistem pengawasan, dan mekanisme pemantauan pun belum optimal.


6. Prospek dan Rekomendasi Penguatan HAM dalam Kerangka Pancasila


Untuk memperkuat hubungan antara Pancasila dan HAM serta mendorong pelaksanaan yang lebih konsisten, beberapa rekomendasi berikut dapat dipertimbangkan:


6.1 Reformasi Lembaga dan Penegakan Hukum

  • Penguatan kelembagaan Komnas HAM agar memiliki kewenangan yang lebih efektif (misalnya rekomendasi wajib ditindaklanjuti).

  • Reformasi sistem peradilan agar bebas, independen, dan tidak terpengaruh kekuasaan politik.

  • Penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM dengan semangat keadilan, tanpa diskriminasi atau perlakuan istimewa.


6.2 Harmonisasi Norma (Hukum Nasional dan Internasional)

Indonesia perlu terus menyelaraskan regulasi nasional dengan konvensi-konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi, agar standar perlindungan HAM semakin tinggi dan sesuai perkembangan global.


6.3 Pendidikan HAM dan Budaya HAM

  • Memasukkan pendidikan HAM secara sistematis sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk pemahaman tentang Pancasila sebagai dasar dan nilai HAM.

  • Kampanye publik, media, dan organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan kesadaran HAM.

  • Pelatihan aparatur negara (polisi, jaksa, hakim) agar kepatuhan hak asasi manusia menjadi bagian budaya kerja.


6.4 Pemberdayaan Kelompok Rentan dan Minoritas

Negara harus memastikan perlindungan khusus bagi kelompok rentan (misalnya perempuan, anak, penyandang disabilitas, etnis minoritas) agar mereka memiliki akses ke hak yang setara dengan warga lain.


6.5 Kebijakan Publik yang Sensitif HAM

Setiap kebijakan publik—apapun sektor (ekonomi, kesehatan, lingkungan)—harus dikaji dan diuji terhadap dampaknya pada hak asasi manusia (human rights impact assessment).


6.6 Transparansi, Akuntabilitas, dan Partisipasi Masyarakat

Negara perlu membuka ruang partisipasi publik dalam perumusan kebijakan, audit publik, pengawasan lembaga, dan mekanisme pengaduan yang mudah diakses oleh rakyat.

Dengan langkah-langkah ini, nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi simbol, tetapi menjadi kekuatan riil yang menjamin dan melindungi HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Kesimpulan


Pancasila dan Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki hubungan yang sangat erat dalam kerangka kehidupan negara Indonesia. Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, menyediakan fondasi nilai (ideal) yang memayungi pengakuan, perlindungan, dan pelaksanaan HAM di Indonesia.

Nilai-nilai seperti keadilan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial—yang tercermin dalam lima sila—sejalan dengan prinsip-prinsip HAM universal.

Namun agar nilai-nilai itu bukan hanya retorika, perlu diterjemahkan ke dalam instrumen hukum (nilai instrumental) dan praktik nyata (nilai praktikal). Di sinilah letak tantangan besar: kelemahan institusi, ketimpangan sosial-ekonomi, konflik nilai, serta budaya HAM yang belum maksimal menjadi hambatan.

Di masa depan, penguatan lembaga, pendidikan HAM, kebijakan publik sensitif HAM, dan budaya partisipatif menjadi kunci agar Pancasila dan HAM dapat berjalan seiring dalam mewujudkan Indonesia yang adil, bermartabat, dan manusiawi.


Recent Post