DI TII : Pengertian DI/TII, Latar Belakang DI/TII Singkat, Pemberontakan DI/TII, Timbulnya Gerakan DI/TII di Jawa Barat (Kartosoewirjo), Tujuan Penentangan DI/TII Jawa Barat, Timbulnya Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Timbulnya Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar), di Aceh (Daud Beureueh)
Pengertian DI/TII
DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) merupakan sebuah gerakan atau perkumpulan organisasi yang berjuang atas nama Umat Islam yang ada di seluruh Indonesia. Nama NII merupakan kependekan dari Negara Islam Indonesia dan kemudian banyak orang yang mengenalnya dengan nama Darul islam atau yang biasa dikenal dengan nama DI.
Arti kata darul Islam itu sendiri ialah Rumah Islam. Jadi kesimpulan dari organisasi DI/TII adalah tempat atau wadah bagi umat islam yang ada di Indonesia untuk menyampaikan pendapat-pendapat mereka, supaya pendapat-pendapat tersebut bisa tertampung dan dapat terorganisir sehingga berguna bagi umat islam di Indonesia.
Latar Belakang DI/TII Singkat
Sudah 74 tahun Indonesia mendapatkan kemerdekaan setelah dijajah oleh beberapa bangsa asing selama tiga ratus tahun lebih. Dalam kurun waktu tersebut banyak peristiwa yang telah terjadi, salah satunya dalam catatan adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo merupakan pendiri negara berasas Islam tersebut. Baca juga : Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan
Negara Islam Indonesia yang disingkat NII atau juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI yang artinya yaitu Rumah Islam adalah gerakan politik yang dideklarasikan pada 7 Agustus 1949 oleh Kartosoewirjo di sebuah Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kegiatan tersebut memiliki maksud untuk menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja dideklarasikan kemerdekaannya, menjadi negara dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasi Negara Islam Indonesia menyatakan bahwa, Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam, dan dalam undang-undangnya menyebutkan bahwa, Negara berdasarkan Islam dan Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits. Deklarasi Negara Islam Indonesia itu begitu jelas menyatakan keharusan negara untuk membuat undang-undang yang didasari dengan hukum Islam, dan sangat menolak ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih.
Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia menyebar di berbagai wilayah Indonesia, terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan. Setelah pembuatnya, yaitu Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dihukum eksekusi pada 1962, kegiatan Negara Islam Indonesia menjadi terbelah. Namun walaupun terbelah gerakan tersebut tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.
Pemberontakan DI/TII
Pada tanggal 14 Agustus 1945 menurut Alers, sesungguhnya Kartosuwirjo sudah mendeklarasikan suatu negara Darul Islam yang merdeka. Namun setelah tanggal 17 Agustus 1945 Kartosuwirjo membela Republik Indonesia yang dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta. Lalu pada saat Belanda melakukan agresi militer I kepada Republik Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947, Kartosuwirjo menggaungkan Perang suci melawan Belanda pada tanggal 14 Agustus. Baca juga : Penerapan Pancasila dari Masa Ke Masa
Kartosuwirjo bersama gerakan DI-nya awalnya mendukung Republik dalam perjuangan melawan Belanda. Akan tetapi ketika Indonesia melakukan perjanjian Renville dengan pihak Belanda, Darul Islam kembali bergejolak sebagai reaksi negatif dari adanya persetujuan akan perjanjian Renville pada bulan Januari 1948. Menurut perjanjian yang tertulis itu pasukan TNI harus ditarik dari dari daerah Jawa Barat yang terletak dibelakang garis demarkasi Van Mook. Akan tetapi sekitar 4000 pasukan Hisbullah dibawah pimpinan Kartosuwirjo, bekas anggota PSII sebelum perang dan bekas anggota Masyumi menolak untuk berhijrah.
Reaksi keras dari Pihak Kartosuwirjo yang menentang hasil perjanjian Renville itulah yang dianggap sebagai sebuah pemberontakan, dikarenakan sebagai warga negara, Kartosuwirjo beserta pasukannya dapat menerima dan menjalankan hasil dari perjanjian Renville sendiri. Bukan malah melakukan perlawanan dan malah memproklamasikan sendiri kemerdekaannya sebagai Negara Islam Indonesia, sementara saat itu, Indonesia sudah merdeka. Hal tersebut sama dengan Darul Islam ingin mendirikan negara di dalam sebuah negara walaupun pada saat itu Darul Islam mendirikan sebuah negara di Pasundan, wilayah yang dikuasai Belanda pada saat itu.
Kemudian pada saat Belanda melakukan agresi militer ke II yaitu pada tanggal 19 September 1948, Kartosuwirjo menggaungkan kembali untuk melakukan perang suci kepada pihak Belanda. Maka dari itu, kubu Darul Islam sudah secara terbuka tidak terpaut dengan Perjanjian Renville lagi. Lalu pada akhirnya di tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo sebagai pemimpin dari DI mendeklarasikan terbentuknya negara Islam Indonesia sebagai pengganti terhadap Republik Indonesia (Yogya).
Timbulnya Gerakan DI/TII di Jawa Barat (Kartosoewirjo)
Gerakan DI/TII di Jawa Barat terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949, yang di pimpinan oleh Sekarmadji Maridjan kartosoewiryo.
Sebab Penentangan terjadi :
- Presiden RI mengakui kesepakatan Renville yang memwajibkan pengikut RI meninggalkan daerah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah, hal ini dianggap Kartosuwirjo sebagai bentuk pembelotan Pemerintah RI kepada perjuangan rakyat Jawa Barat (karena ada beberapa komandan TNI yang menjanjikan akan meninggalkan semua persenjataannya di Jawa Barat apabila mereka hijrah nanti). Sekitar dua ribu pengikutnya yang diantaranya yaitu laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwirjo menolak pindah dan memulai usaha mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Baca juga : Dampak Perjanjian Renville
Tujuan Penentangan DI/TII Jawa Barat
- Ingin membentuk negara yang berlandaskan agama islam dan lepas dari NKRI sewaktu tentara Belanda menduduki ibukota RI di Yogyakarta.
- Menjadikan Syariat islam sebagai dasar Negara (pola tingkah laku, dalam keluarga/masyarakat/bangsa ataupun Negara) bersumber pada Alqur’an, Hadist, Isma, Qias.
Upaya Pemusnahan yang dilakukan Pemerintah untuk menumpas gerakan DI/TII di Jawa Barat tersebut, yaitu dengan pendekatan musyawarah yang di lakukan Muhamad Natsir. Tetapi pendekatan musyawarah tersebut tidak membawa hasil sehingga pemerintah RI terpaksa mengambil tindakan tegas dengan menerapkan operasi militer yang di sebut Operasi Pagar Betis dan Operasi Baratayudha untuk menumpas gerakan DI/TII.
Kemudian pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo beserta para pengikutnya berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati di hadapan regu tembak dari keempat angkatan bersenjata RI pada 16 Agustus 1962. Baca juga : Nilai Sosial : Pengertian, Fungsi, Macam, Ciri dan Contoh
Timbulnya Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar)
Penentangan DI/TII di Sulawesi Selatan dimulai sejak tahun 1951 yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada mulanya kegiatan tersebut berawal dari Kahar Muzakar menempatkan pasukan rakyat Sulawesi Selatan ke dalam bagian APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Kahar muzakar memiliki kemauan untuk menjadi pemimpin APRIS di daerah Sulawesi Selatan.
Kemudian pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar memberikan surat kepada pemerintah pusat yang menyebutkan agar semua anggota dari KGGS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan) dimasukkan dalam APRIS serta menyarankan pembentukan Brigade Hasanudin. Akan tetapi permintaan Kahar Muzakar tersebut ditolak oleh pemerintah pusat.
Pemerintah sentral bersama dengan pemimpin APRIS mengeluarkan prosedur dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN) dan Kahar Muzakar diangkat sebagai pemimpin dengan kedudukan letnan kolonel.
Kebijakan pemerintah tersebut membuat kecewa Kahar Muzakar. Pada 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar bersama pasukannya melarikan diri ke hutan. Kemudian pada tahun 1952 Kahar Muzakar menyebut bahwa wilayah Sulawesi Selatan telah menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.
Pemerintah lalu mengambil tindakan tegas dengan mengadakan operasi militer untuk mengatasi penentangan Kahar Muzakkar. Dan pada akhirnya di bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak. Baca juga : Nilai Nilai Dasar Pancasila
Timbulnya Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar)
Penolakan yang dipimpin Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari gerakan penolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang akan membuat negara berdasarkan hukum Islam di Indonesia, yang juga disebut dengan Negara Islam Indonesia.
Penolakan Ibnu Hadjar bermula dari kegagalan eks pejuang kedaulatan yang berasal dari Kalimantan Selatan untuk bergabung di tentara Indonesia saat itu yang bernama APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Banyak mantan pejuang yang tidak dapat masuk tentara karena disebabkan tidak bisa baca tulis, termasuk Ibnu Hadjar sendiri. Mereka semua juga kecewa dengan adanya mantan tentara KNIL (Tentara Hindia Belanda) di APRIS.
Ibnu Hadjar lalu membuat Kesatuan Rakjat Jang Tertindas (KRJT), dan menggempur pos tentara di Kalimantan Selatan pada Oktober 1950.
Penyelesaian secara damai mulanya dilakukan Pemerintahan Indonesia, tetapi Ibnu Hadjar yang sempat tertangkap dan dilepaskan untuk membujuk penentang lain menyerah malah kabur dan meneruskan penentangannya.
Penentangan tersebut kemudian berhasil dikalahkan dan Ibnu Hadjar menyerah pada Maret 1965, dan kemudian dijatuhi Hukuman Mati. Baca juga : Contoh Literasi
Timbulnya Gerakan DI/TII di Aceh (Daud Beureueh)
Penyebab penentangan DI/TII di Aceh berawal mula karena kekecewaan tokoh-tokoh Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh kepada pemerintah pusat. Kekecewaan tersebut disebabkan oleh penghapusan status provinsi Aceh yang disatukan dengan Sumatera Utara.
Setelah adanya penolakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pada tahun 1953, Daud Beureueh menyebutkan ikut dengan DI/TII. Pasukan tentara Indonesia dengan cepat dapat merebut kota-kota besar di Aceh, tetapi wilayah pedalaman dikuasai gerilya DI/TII.
Penentangan DI/TII di Aceh berakhir saat menyerahnya Daud Beureueh setelah dicapai kesepakatan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
Musyawarah itu berlangsung pada 17-21 Desember 1962. Upaya tersebut menghasilkan perjanjian untuk mengembalikan posisi provinsi Aceh, dan memberikan provinsi ini otonomi khusus. Hasil diplomasi tersebut adalah menjadi berakhirnya penentangan DI/TII di Aceh.
Baca juga :
Demikian artikel dari ppkn.co.id mengenai DI TII : Pengertian, Latar Belakang, Pemberontakan, Timbulnya Gerakan di Jawa Barat (Kartosoewirjo), Tujuan Penentangan Jawa Barat, di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), di Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar), di Aceh (Daud Beureueh), semoga bisa bermanfaat.